Rabu, 14 Juli 2010

PEMIKIRAN FILSAFAT AL GHAZALI

MAKALAH FILSAFAT ISLAM

PEMIKIRAN FILSAFAT AL GHAZALI

Dosen Pembimbing; Naufal Ramzi

idia coluor

Oleh: Hilmi

Fak/Prodi/Smt: Usuluddin/ Filsafat/ III

Asal: Lombok, NTB.

INSTITUT DIROSAT ISLAMIYAH AL-AMIEN (IDIA) PRENDUAN

SUMENEP MADURA JAWA TIMUR.

PEMIKIRAN FILSAFAT AL GHAZALI[1]

A. Mukoddimah

Dengan mengucapkan syukur yang tidak terhingga kepada Allah atas segala ni’matnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas kuliah ini tepat pada waktunya. Yang kedua selawat atas nabi besar Muhammad saw, yang telah membawa umat nya kejalan kelurusan.

Saya juga mengucapkan terimakasih pada dosen pembimbing yang telah membimbing dalam menunaikan kewajiban sebagai musim (menuntut ilmu), kepada semua teeman pada ummumnya dan khususnya teman-teman yang tergabung dalam yogenlisfis yang selalu membantu dan memotifasi saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan mudah.

B. Latar Belakang.

Al Ghazali sebagai pemikir besar islam yang hidup pada masa dimana jiwa keislamam dalam keadaan sangat merosot, pada saat itu terjadinya krisis keimanan pada pokok-pokok kenabian dan hakekat serta pengamalan ajaran-ajaran agama. Dengan penafsiran filosofisnya, Al Ghazali membrikan pemikiran yang berpusat pada Islam, tidak seperti filsuf islam sebelumnya yang banyak tertuju pada masala-masalah klasik yang terdapat dalam pemikiran yunani.

Sebagai seorang filsuf, Al Ghazali banyak mengkritik pendapat-pendapat filsuf yang dianggapnya rancu. Dia mengkritik para filsuf (al farabi dan ibnu sina) dalam bukunya yang berjudul tahafut al falasifah, dalam memberikan jawaban terhadap kritik Al Ghazali ini, ibnu rusyd menulis buku yang berjudul tahafut al tahafut. Perang pena ini menjadi daya terik tersendiri untuk dikaji secara lebih mendalalm. Dalam makalah singkat ini, penulis mencoba untuk menguraikan masalah-masalah yang berkaitan tentang pemikiran filosofis Al Ghazali. Secara singkat, karna untuk menjelaskannya secara spesifik dan sempurna penulis belum mampu karna keterbatasan wawasan dan refrensi.

Adapun Masalah yang menjadi pokok bahasandalam makalah ini adalah:

Ø 1. Biografi Singkat Al Ghazali

Ø 2. Konsep Filsafat Al Ghazali

Ø 3. Ajaran Al Ghazali

Ø 4. Beberapa pendapat tentang Al Ghazali.

1. Biografi singkat Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Miuhammmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al Ghazali. Al Ghazali di lahirkan pada tahun 450 M di Thus, suatu kota yang terletak di Khurosan. Dia adalah anak seorang pembuat kain dari bulu (wol), tetapi Al Ghazali tidak diasuh oleh bapaknya sampai dewasa, karna ayahnya meninggal dunia. Setelah ayahnya meninggal dunia, dia diasuh oleh seorang ahli tasawuf.

Al Ghazali sudah mulai belajar fikih sejak masih kecil, dia belajar fikih di negri kelahirannya kepada syeh Ahmad Bin Muhammad Arrasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili di negri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negrinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada imam Al Haromain. Sejak belajar sama imam Al Haromain, ketajaman otak Al Ghazali sudah mulai kelihatan, sehingga dengan mudah dapat menguasai ilmu-ilmu yang menjadi ilmu pokok pada saat itu, seperti mantiq (logika), filsafat dan fikih mazhab syafii. Sehingga imam Al Haromain menjulukinya dengan sebutan “lautan tak bertepi”

Setelah wafatnya imam Al Haromain, imam Al Ghazali pergi ke Al Ashar untuk bersilaturrahmi kepada menteri Nizam Al Muluk, seorang menteri dari pemeritahan dinasti Saljuk. Disana dia disambut dengan penuh penghormatan sebagai ulamak dan ilmuan besar. Ketika berkumpul dengan para ulamak dan cendikiawan, mereka semua mengakui ketinggian ilmu yang dimiliki oleh Al Ghazali. Al ghazali dilantik menjadi seorang guru besar di sebuah perguruan tinggi nizamiah yang terletak di kota Bagdad, pelantikan ini dilakukan oleh menteri Nizham Al Muluk pada tahun 484 H/ 1091 M. Al Ghazali mengajar di perguruan tinggi ini selama empat tahun.

Pada tahun 288 H. Al Ghazali pergi ke Syam, setelah terlebihl dahulu menunaikan rukun iman yang ke lima (haji di tanah suci Makkah), Al Ghazali kemudian melanjutkan perjalanannnya ke Damaskus (Siriya) disinilah Al Ghazali menetap untuk beberapa lama. Di Damaskus Al Ghazali sering sekali beribadah di masjid Al Umawi sehingga pada saat ini, masjid tersebut diubah namanya menjadi masjid Al Ghazali. Di sini juga Al Ghazali menulis sebuah buku yang sangat pamilier dikalangan ummat islam Indonesia, yaitu kitab ihya ulumu Addin.

Setelah tinggal di Damaskus selama sepuluh tahun Al Ghazali menyelesaikan tulisannya kemudian kembali ke Bagdad, dia kemudian mengajarkan isi kitabnya di majlis-majlis taklim. Karna mengetahui Al Ghazali sudah kembali ke Bagdad, Muhammad penguasa pada saat itu meminta Al Ghazali untuk kembali ke Naisabur dan mengajar di perguruan Nizamiyah. Dia mengajar di sana selama dua tahun, setelah itu dia pulang dan kembali ke kampung halamannya di Thus. Al Ghazali kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk mendidik para pukaha’ dan mutahawwifin (orang yang ahli dalam bidang tasawuf). Di kampung halamannyainilah Al Ghazali meninggal dunia, pada tahun 505 H/ 1111 M. pada usia 55 tahun.

Al ghazali adalah pengagum Francis Bacon, ini dapat di lihat dari kata-kata yang di kutip nya sesaat sebelum meninggal._ Sesaat sebelum meninggal, beliau sempat mengucapkan kata yang diucapka oleh Prancis Bacon­_ filsuf Inggris yaitu : kuletakkan arwah ku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipatan bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia dimasa yang akan dating”[2]

2. Konsep Filsafat Al Ghazali

Tidak berlebihan jika kita mengatakan Al Ghazali adalah sang pemikir besar didalam Islam. Karna dia memberikan pengaruh yang sangat besar dan memberikan wajah baru pada dunia Islam. Hal ini terbukti dari kemampuannya mengadakan pembaharuan terhadap nilai-nilai keislaman yang sangat merosot pada saat itu.

Ia hidup disaat nilai keislaman mengalami dekadensi sedemikian rupa dan keimanan pada dasar-dasar kenabian serta hakekat dan pengamalan agama yang sangat merosot.

Penafsiran filosufis yang dilakukkan oleh filsuf Islam sebellumnya tidak memberikan pemikiran yang berpusat pada Islam, melainkan mereka banyak tertuju pada masalah-masalah klasik yang terdapat dalam pemikiran Yunani.[3]

Dalam menyampaikan pendapatnya, Al Ghazali banyak mengeritik para filsuf dengan bukunya yang berjudul tahafut al falasifah, Tetapi Ibnu Rusyd tidak mau kalah, dia lalu memberikan jawaban terhadap keritik Al Ghazali tersebut dan menyerang balik Al Ghazali, dengan buku nya yang berjudul tahafut al tahafut. Tidak hanya sampai disini, serangan pena terhadap Al Ghazali oleh Ibnu Rusyd terlihat sengit dengan buku yang ditulis Ibnu Rusyd fashl al maqal fi ma bayna al hikmah wa asy-syai’ah min al ittihal, _buku ini ditulis untuk mengkritik pendapat-pendapat Al Ghazali di kitab faishal al tafriqah bayna al islam wa az-zandaqah_[4].

Diantar hasil pemikiran Al Ghazali sebagai mana yang di tulis dalam kitab al munqiz min al dhalal . dia berpendapat bahwa pengetahuan yang paling benar adalah pengetahuan intuisi/makrifah yang disinari oleh Allah langsung kepada seseorang. Pengetahuan mistiklah yang membuat dia yakin dan merasa tenang setelah dia dilanda keraguan yang hebat. [5]

Al Ghazali membagi pengetahuan itu kepada tiga tingkat, yaitu pengetahuan orang awam, pengetahuan kaum intelektual, dan pengetahuan kaum sufi.[6] Orang awam menerima berita tanpa penyelidikan atau observasi terlebih dahulu. Contohnya, ada orang yang mengatakan “dirumah itu ada gembong narkoba” maka orang awam akan langsung percaya atau menolak pernyataan ini tanpa mengadakan penyelidikan terlebih dahulu, beda halnya dengan kaum intelektual, mereka akan menyelidiki kebenaran berita tersebut dengan menganalisis data-data yang ada. Apakah benar ada seorang disekitar rumah itu. Setelah meneliti sandal, suara percakapan,siapa saja yang sering bertamu kesana, dan apa saja kegiatan sang pemilik rumah, barulah mereka mengambil kesimpulan bahwa memang benar ada seorang gembong narkoba dirumah itu.

Tetapi berbeda dengan kaum sufi, para sufi setelah mendengar berita itu akan langsung membuka pintu sehingga mereka dapat melihat langsung apa isi rumah itu dan melihat orang didalam nya.

Pengetahuan yang ketiga inilah yang paling palid menurut Al Ghazali, pengetahuan seperti inilah yang disebut dengan makrifah. Makrifah dalam pengertian Al Ghazali adalah seperti pengetahuan yang dijalani para sufi. _lagipula pengetahuan yang ketiga ini lebih meyakinkan dan membawa kepastian daripada yang pertama dan kedua_[7]

Menurut Al Ghazali pengetahuan indrawi dan akal memiliki kebenaran yang tidak meyakinkan, karna panca indra sering menipu. misalnya, banyangan pohon di dalam air apabila kita melihatnya maka akan kelihatan hidup dan bergerak. Begiu juga dengan akal, ketika seseorang bermimpi tentang sesuatu, maka akan merasa benar-benar terjadi, walupun pada kenyataannya ketika telah bangun halini tidak dia temukan sama sekali. Karna itul, Al Ghazali menggambarkan kehidupan dunia ini bagaikan orang tidur, nanti kalau di akhirat atau setelah mati mereka baru bangun dan sadar bahwa apa yang ada di dunia ini berupa mimpi.[8]

Pengetahuan intuisi banyak mendapat tantangan, terutama dari sifat objektivitasnya. Namun perlu juga diketahui bahwa pengetahuan ini terjadi pada beberapa orang tertentu dengan pola yang sama, sehingga bisa dianggap sebagai mengetahuan intersubjektivitas. Pengetahuan intersubjektivitas bisa dikatagorikan sebagai pengeahuan ilmiah.[9]

Masalahnya kemudian adalah semua bentuk pengetahuan itu _empirisme,rasionalisme,dan iluminasionalisme_ bersumber dari manusia, bersifat relative.[10] Dalam menjelaskan hal ini KH. Syarkowi Dhafir mengatakan bahwa sesuatu yang bersifat mistik seperti do’a adalah suatu permasalahan yang bersifat Ilmiah, halini dapat dibuktikan dengan melakukan ritual keagamaan tertentu, apabila kita melakukan dengan cara yang sama dengan orang lain, maka akan mendapatkan hasil yang sama juga. Tetapi permasalahannya adalah apakah ada orang yang berdoa dengan cara yang sama?. Mungkin saja doanya saja yang sama, tetapi apakah keyakinan, keikhlasan, dan kedekatan nya dengan Allah juga sama?. Jadi untuk apa kita repot-repot menyalahkan suatu hal yang tidak dapat kita buktikan kebenarannya dengan pengalaman empirisme, apabila kita tidak bisa menyalahkannya dengan empirisme.

3. Ajaran Al Ghazali.

a. Tasawuf

Al ghazali adalah ilmuan yang tidak pernah puas dengan ilmu yang dimilikinya, ini dapat dilihat dari sikapnnya yang slalu ingin menguasai segala bidang. Sebagai seorang filsuf, Al Ghazali kerap kali meragukan semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat indrawi dan pengetahuan hakikat. Karna skeptis yang begitu tinggi, sampailah Al Ghazli pada titik kulminasi terendah, yaitu meragukan semua macam ilmu, baik yang bersfat empiris, hakekat, maupun indarawi. Sebagaimana yang ia tulis dalam ktab Al Mugidz yaitu:

“ sikap skeptic yang menimpa diriku dan bertahan lama, telah berlangsung dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai terhadap pengetahuan indrawi”, bahkan keraguan ini semakin mendalam, dengan perktaannya “ bagaimana pengetahuan indrawi itu dapat diterima. Sepeti halnya pengelihatan, sebagai indra yang terkuat. Ketika engkau melihat bayangan disangkanya diam, tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, setelah beberapa saat kau melihat bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan perlahan-lahan sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya bayangan itu tidak kenal diam, demikian pula jika kamu melihat bintang, maka dikira dia kecil sebesar uang dinar, tetapi bukti sebenarnya bahwa bintang itu lebih besar dari bumi”[11]

Demikianlah krisis yang menimpa Al Ghazali sampai-sampai tidak dapat memercayai pengetahuan indrawi, pada pase selanjutnya, Al Ghazali bahkan tidak dapat meyakini pengetahuan yang didapat dari akal.

Untuk mengobati hal ini, pada akhirnya Al Ghazali kemudin mendalami tasawuf, maka datanglah Al Ghazali dan memasukkan tasawuf dalam pangkuan islalm. Tetapi Al Ghazali tidak masuk kedalam tasawuf inkarnasi dan pantheisme karna dia tetap yakin dengan hakekat kebenaran ajaran Islam, oleh karna itu, buku-buku yang ditulisnya pun tidak keluar dari Al Quran dan Assunnah.

Memang sebenarnya sukar untuk menyebutkan sikap Al Ghazali tersebut dengan tasawuf , dan boleh jadi nama yang tepat adalah subyektivismus (keperibadian), sebagaimana yang disebutkan oleh J. Obermen, dalam bukunya der philosophischeund religious subyektivismus ghazalia ( keperibadian filsafat dan agama pada al ghazali). Pengetahuan yang ada pada Al Ghazali adalah berdasarkan pengetahuan yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, tidak pula dari argument-argumen ilmu kalam.[12]

b. Filsafat metafisika.

Al Ghazali menghantam pendapat filsuf-filsuf yunani, dan juga ibnu sina c.s., dalam dua puluh masalah, diantara yang terpenting adalah:

Ø Al ghazali menyerang dalil-dalil aristoteles tentang azalinya dunia dan alam. Disini Al Ghazali berpendapat bahwa alam dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh tuhan,

Ø Al ghazali menyerang kaum filsuf ( aristoteles ) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa kepastian keabadian alam terserah kepada tuhan semata-mata, mungkin saja alam itu terus menerus tiada akhir apabila tuhan menghendaki. Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri diluar kehendak tuhan.

Ø Al Ghazali menyerang pendapat kaum filsuf bahwa tuhan hanya mengetahui hal-hal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui hal-hal yang kecil (juziat).

Ø Al Ghazali juga menentang pendapat kaum filsuf yang mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al Ghazli segala pristiwa yang serupa dengan hukum sebab akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata, dan bukan hukum kepastian. Dalam halini jelas Al Ghazali menyokong pendapat izraul adat dari al asyari.[13]

Dalam buku tahafut al Falasifah Al Ghazali memberikan argument dengan metode polemic yang logis, ilmiah dan terkonstruktur, dia adalah filsuf yang trkenal sebagai ulama’ logika yang memiliki kemampuan mujadalah yang baik dan teratur.

C. Etika/ Akhlak.

Apabila kita ingin menemukan filsafat moral dari pemikiran yang dituangkan oleh Al Ghazali, maka masalah ini akan kita dapatkan dalam kitab ihya ulumuddin yang berisi teori tasawuf Al Ghazali. Mengenai tujuan pokok dari moral Al Ghazali kita jumpai pada semboyan tasawuf yang terkenal: al takhalluk bi akhlaqillahi ala thaqatil basyariyah.

Menurut Al Ghazali, ada tiga tujuan mempelajari akhlak,yaitu:

a. Mempelajari akhlak hanya sekedar sebagai setudi murni teoritis, yang berusaha memahami ciri murni kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa bermaksud mempengaruhi prilaku orang yang mempelajarinya.

b. Memplajari akhlak sehingga meningkatkan sikap dan prilaku sehari-hari.

c. Karna akhalak trutama merupakan subyek teoritis yang berkenan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam mempelajari akhlak harus mendapat kritik terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri. Al Ghazali setuju dengan teori kedua. Dia mengatakan bahwa setudi tentang ilm al muammalat dimaksudkan guna latihan kebiasaan; tujuan latihan adalah untuk meningkatkan keadaan jiwa agar kebahagiaan dapat dicapai diakherat. [14]

Tanpa kajian ilmu ini, kebaikan tak dapat dicari, dan keburukan takdapat dihindari dengan sempurna. Prinsip-prinsif moral tidak dapat dipelajari dengan maksud untuk diterapkan semuanya didalam kehidupan sehri-hari. Al Ghazali mengatakaan pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik dari kebodohan.[15]

Berdasarkan pendapatnya ini, dapat dikatakn bahwa akhalak yang dikembangkan Al Ghazali bercorak teleologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu pada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan , bahwa manusia mempunyaitujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat, dan amal itu baik apabila ia mempunnyai pengruh pada jiwa yang amrmbuatnya menjurus ketujuan tersebut, dan dikatakan amal itu buruk apabila menghalangi jiwa mencapai tujuan itu. Bahkan amal ibadah seperti solat, zakat, puasa, maupun haji adalah baik disebabkan akibatnya bagi jiwa. Derajat baik dan buruk berbagai amal berbeda oleh sebab berbeda dalam hal pengaruh yang ditimbulkan dalam jiwa pelakunya.[16]

Adapun masalah kebahagiaan, menurut Al Ghazali tujuan manusia adalah kebahagiaan ukhrawi (as saadah al ukhrawiyah), yang biasa diperoleh jika persiapan yang perlu untuk dilakukan dalam hidup ini dengan mengendalikan sifat-sifat manusia dan bukan dengan membuangnya. Kelakuan manusia dianggap baik, jika itu membantu dalam kehidupan akhiratnya. Kebahagiaan ukhrawi adalah tema sentral ajaran para rasul dan demi menggerakkan orang kearah itulah, maka semua kitab suci diwahyukan. Karna itu, ilmu danakal adalah syarat pokok untuk mencapai kebahagiaan. Kemuliaan menurut Allah terletak pada usaha mencapai kebahagiaan ukhrawi, barang siapa yang gagal mencapainya maka lebih hina dari hewan yang hina. Karna hewan-hewan akan musnah dan orang yang gagal tersebut akan menderita dan sengsara.[17]

Kebahagiaan ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni: berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa duka cita, pengetahuan tapa kebodohan dan kecukupn (ghina) yang tdak memutuhkan apa-apa lagi guna keputusan yang sempurna. Tentu saja kebahagiaan yang di maksud Al Quran dan Al Hadis adalah surga, sedangkan tempat kesengsaraan adalah Neraka. Nasib setiap orang akan ditentukan pada hari kebangkitan, tetapi akibat kebhagiaan dan kesengsaraan itu akan dimulai setelah kematian. Pada haari kebangkitan, jiwa itu dikembalikn pada suatu jasad; orang yang bangkit itu akan mempunnyai badan dan jiwa, dan akan hidup abadi dalam bentuk ini.[18]

Daftar pustaka.

Ø H. A. Mustofa. Drs., filsafat islam, Bandung;pustaka setia, 2007,

Ø Misrawi, Zuhairi , Ibnu rusyd gerbang pencerahan timur dan barat, kramat jati Jakarta;P3M. 2007.

Ø Bakhtiar Amsal , MA, Filsafat Islam, Jakarta;logos wacana ilmu, cet II, 1999

Ø T.J. de Beor, tarikh al falsafah fi al islam, terj., ( kairo: lajnah al-ta’lif wa al-tarjamah, wa al-nasyir).

Ø Abdul Quasem, Muhammad, Etika al ghazali; etika majmuk didalam islam,diterjemahkan oleh J. Mahudin, dari the ethics of al ghazli; A composite cthics in islam. (bandung; pustaka, 1988),

Ø Al ghazali Imam, ihya ulumuddin

AUTOBIOGRAFI SINGKAT:

Hilmi lahir 16-08-1985 di Gangga, sebuah desa terpencil di kabupaten Lombok Utara NTB, kedua orang tuanya adalah buruh tani, pada tahun 1992 masuk Sekolah Dasar dan menyelesaikan sekolah dasar pada tahun 1999 di SD Negri 1 Gangga, setelah menyelesaikan sekolah dasarnya pada tahun 1998, kemudian melanjutkan sekolah menengah di MTS Riadul Jannah NW Penjor dan selesai pada tahun 2002, karna factor ekonomi, dia tidaak langsung melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Setelah menyelesaikan MTS dia bekerja sebagai buruh di penebang kayu pada seorang pengusaha kayu yang tidak jauh dari desanya. Setelah bekerja selama stahun, pada tahun (2003), atas dorongan keluarga, melanjutkan pendidikan ke Pondok Modern Al Bayan yang terletak di Desa Anyar Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara (saat itu masih Lombok Barat), di Pon-Pes Al Bayan inilah dia banyak terjun keorganisasi, baik organisasi santri, pecinta alam, maupun kepramukaan. Pada tahun 2005 terpilih menjadi bagian lingkungan hidup di Organisasi Pelajar Tarbiyatul Muallimin Al Islamiah (OPTAMI), pada tahun 2006 terpilih menjadi ketua OPTAMI. Tahun 2007 menyelesaikan pendidikan di Pondok Modern Al Bayan, pada tahun 2007-2008 menjalani masa khidmah tarbawiah yang diamanahkan Al Mamater dan ditugaskan di Pon-Pes Hidayaturrahman NW Menggala yang terletak di Desa Pemenang Barat Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara. Di lembaga ini dia dipercaya menjadi wali kelas III MTS, menjadi Majlis Pembimbing Organisasi (MPO) dan mendapatkan tugas mengajar Bahsasa Arab di MTS dan nahwu /sharaf di MA setempat. Setelah masa khidmah selesai (juli/2008), dia kemudian melanjutkan pendidikannya ke IDIA Al Amin Prenduan, fakultas Usuluddin jurusan filsafat, Nopember 2009 terpilih sebagai sekretaris Dewan Coordinator Pers Mahasiswa (DKPM), adapun jabatan-jabatan keorganisasian yang pada saat ini: Sekretaris Dewan Coordinator Pers Mahasiswa (DKPM), pengurus perpustakaan kampus, lay outer majalah Al-Bayan (Fakultas Teologi) dan Bulletin Al-Mubien (Fakultas Teologi), divisi properties Sanggar Teater Roda, dan sekretaris dalam majalah kampus (Iqra’).

Saat ini masih menyelesaikan pendidikan S1 di Institute Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep Jawa Timur mengambil Fakultas Teologi Jurusan Filsafat, selain kuliah S1 jurusan Filsafat, dia juga mengiuti kuliah di Ma’had Ali di Pon-Pes Al-Amien Prenduan Jurusan Kajian Islam Dan Bahasa Arab Sampai saat ini.



[1] Judul makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat.

[2] Drs. H. A. Mustofa, filsafat islam, Bandung; Pustaka Setia, 2007, halaman 216.

[3] Ibid, hal 217.

[4] Zuhairi, misrawi. Ibnu rusyd gerbang pencerahan timur dan barat, kramat jati Jakarta

[5] Bakhtiar, Amsal. Dr. MA, Filsafat Islam, Jakarta;logos wacana ilmu, cet II, 1999. Halaman 51

[6] Ibid

[7] Ibid. hal 52.

[8] T.J. de Beor, tarikh al falsafah fi al islam, terj., ( kairo: lajnah al-ta’lif wa al-tarjamah, wa al-nasyir,tt.hlm.277.

[9] Filsafat islam, hlm., 52.

[10] Ibid.

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] ibid

[14] Al ghazali, ihya ulumuddin, jilid IV, hal 72-273.

[15] Al ghazali, ihya ulumuddin, jilid III, hal. 8.

[16] Dr.hasyimsyah nasution, M.A., filsafat islam, hal.88.

[17] Ibid.88.

[18] Muhammad abdul quasem, Etika al ghazali; etika majmuk didalam islam, diterjemahkan oleh J. Mahudin, dari the ethics of al ghazli; A composite cthics in islam. (bandung; pustaka, 1988), hal. 50-52.

Tidak ada komentar: